Jumat, 23 Februari 2024

BRIN Ungkap Upaya Gender Bissu dan Calabai Dapat Pengakuan Sosial melalui Ibadah Haji

BRIN Ungkap Upaya Gender Bissu dan Calabai Dapat Pengakuan Sosial melalui Ibadah Haji


 Jakarta - Kepala Pusat Riset Khazanah Keagamaan dan Peradaban (PR KKP) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wuri Handoko mengatakan, kelompok gender non-mainstream di Indonesia telah berjuang lama dan keras untuk inklusi sosial. Contohnya, di Kota Segeri, Sulawesi Selatan. 


Bissu (indigenous queer) dan calabai (transman) secara proaktif mencari inklusi tersebut dengan melakukan naik haji ke Mekkah. Bagi mereka, ibadah haji memungkinkan komunitasnya mendapat pengakuan sebagai bagian sah dari masyarakat muslim Segeri. 


Setelah menyelesaikan ibadah haji, mereka dapat diundang untuk mengambil peran keagamaan utama dalam upacara Segeri, seperti mappeca sure (peringatan asyura) dan assalama (ritual berkah dan keselamatan). 


“Kelompok transgender di Segeri membingkai ziarah mereka ke Mekkah sebagai model strategis yang dapat diikuti oleh para transgender lainnya di Indonesia untuk dapat diterima secara sosial,” ungkap Wuri, dalam diskusi bertajuk Trans People Naik Haji: Sejarah dan Tradisi Keberagamaan Bissu (indigenous queer) dan Calabai (transman), secara daring, Selasa (20/2).

https://beritahudotid.blogspot.com/

Peneliti Pusat Riset Masyarakat dan Budaya (PRMB) BRIN Halimatusa’diah menjelaskan, masyarakat Bugis mengenal lima jenis kelamin, yakni oroanĂ©’ (laki-laki), makkunrai (perempuan), calabai (laki-laki feminim), calalai (peremouan maskulin), dan bissu yaitu tennia uruwane tenniato makkunrai. Artinya, bukan laki-laki atau perempuan, melainkan gabungan dari kelima jenis kelamin Bugis.


Identitas calabai dan bissu, terang dia, sering kali tumpang tindih dan terkadang tidak dapat dibedakan. Karena banyak bissu yang pertama kali diidentifikasi sebagai calabai. Meskipun, kebanyakan bissu pertama kali diidentifikasi sebagai calabai. 


“Tidak semua calabai bisa menjadi bissu, karena hanya calabai tungkema lino (calabai sejak lahir/calabai secara alami) yang bisa menjadi bissu,” tuturnya.


Minoritas


Halima menyampaikan, dengan masuknya aliran Islam puritan berdampak pada keberadaan bissu di Sulawesi Selatan. Islam puritan menurutnya, mengonstruksikan laki-laki dan perempuan yang  memiliki sifat yang sangat berbeda. 


Mereka menolak kemungkinan ada dua identitas gender sekaligus. Juga, melegitimasi ketidaksetaraan gender melalui narasi penciptaan laki-laki dan perempuan. Dengan demikian, keberadaan bissu makin rentan sebagai kelompok minoritas. 


Hal tersebut dipengaruhi oleh bergesernya pluralisme gender menjadi binerisme gender akibat masuk dan berkembangnya Islam. Maka, terjadi pergeseran kekuasaan dalam masyarakat dari pranata sosial. 


Ditandai dengan menurunnya ritual yang dilakukan oleh para bissu, serta melemahnya keagenan bissu akibat tidak adanya kaderisasi bissu.


Untuk tetap mendapat penerimaan sosial, lanjut dia, dari masyarakat bissu dan calabai perlu melakukan strategi melalui naik haji. “Karena dengan berhaji, menjadi jembatan bagi bissu dan calabai untuk lebih dekat dengan Islam yang sebelumnya mendiskriditkan,” paparnya.


Menyesuaikan Diri


Peneliti PR KKP lainnya, Syamsurijal, mengatakan, untuk tetap dapat diterima, masyarakat bissu dan calabai bisa menyesuaikan diri dengan masyarakat terutama muslim dengan naik haji. Tindakan ini tidak hanya menunjukkan keberanian mereka dalam menghadapi stigma dan diskriminasi, tetapi juga membuka jalan bagi perubahan sosial.


Dirinya lantas menjelaskan tentang alam struktur sosial tradisional Bugis. Di sini, bissu menduduki posisi yang unik. Mereka dianggap sebagai titisan atau perwujudan dari kekuatan spiritual yang berkaitan dengan keseimbangan dan harmoni dalam masyarakat. 


Dengan demikian, keberadaan bissu berada di tengah-tengah masyarakat Bugis, menjadi jembatan antara dunia manusia dan roh.


Dijelaskannya, di dalam struktur kerajaan Bugis, bissu juga memiliki peran yang penting. Mereka sering kali menjadi penasihat spiritual bagi raja atau pemimpin politik, memberikan arahan mengenai kebijakan, pertanian, dan berbagai hal penting lainnya. Keberadaan mereka di tengah struktur kekuasaan memperkuat keyakinan akan keseimbangan antara dunia duniawi dan spiritual.


Bissu Haji Eka, seorang Bissu Segeri dari Pangkep, Sulawesi Selatan, menyampaikan bahwa saat ini bissu yang ada di Segeri tinggal sedikit. Ia berkisah, pada masa kerajaan, bissu mendapat perlakuan khusus oleh pihak istana dan diagungkan sebagai posisi istimewa yang amat diperhitungkan. 


Bissu diberikan penghidupan yang layak oleh kerajaan. Mereka diberikan tana akkinanreng (ladang bercocok tanam) dan bola pajung (hunian di kompleks istana). “Bissu mempunyai tugas memelihara berbagai benda pusaka dan tradisi,” imbuhnya.


Eka melanjutkan, sebelum menjadi bissu, mereka terlebih dahulu berperan sebagai sanro (dukun). Para bissu dianggap sebagai medium yang menghubungkan dunia manusia dengan dunia dewata. 


Seiring masuknya agama-agama baru, terutama Islam, dan perkembangan ilmu pengetahuan medis, peran dan keberadaan bissu mengalami pergeseran dan penurunan signifikan.


“Kehadiran agama baru membawa perubahan dalam tatanan sosial dan spiritual masyarakat. Nilai-nilai dan praktik-praktik agama bisa bertentangan dengan kepercayaan tradisional, seperti yang dipegang oleh bissu. Ini bisa menyebabkan penurunan pengaruh dan peran bissu dalam masyarakat,” urai Eka. 


Selain itu, kemajuan dalam ilmu pengetahuan medis juga dapat memengaruhi persepsi masyarakat terhadap praktik-praktik tradisional, termasuk praktik spiritual yang dilakukan oleh bissu. 


“Orang mungkin lebih cenderung mencari solusi medis atau pengobatan modern daripada mengandalkan praktik-praktik tradisional seperti yang dilakukan oleh bissu,” jelasnya.


Meski demikian, ada perubahan dan tantangan. Beberapa komunitas tetap mempertahankan dan menghargai keberadaan bissu sebagai bagian penting dari warisan budaya mereka. 


Mereka dihormati sebagai mediator antara dunia manusia dan dunia roh, serta memainkan peran penting dalam upacara-upacara adat dan keagamaan tradisional.


Menutup rangkaian diskusi, Wuri menekankan bahwa Indonesia memiliki pondasi budaya yang sangat kuat dan beragam, yang terbentuk dari berbagai pengaruh budaya asli, sejarah, agama, dan interaksi dengan budaya-budaya luar. 


Meskipun budaya Barat, Timur Tengah, dan budaya lainnya telah memengaruhi Indonesia dalam berbagai cara, tetapi budaya Indonesia tetap mempertahankan keunikan dan karakteristiknya sendiri.


“Tidak ada budaya yang lebih baik atau lebih buruk daripada yang lainnya. Setiap budaya memiliki kekayaan dan nilai-nilai yang unik. Budaya Indonesia yang kuat memberikan landasan yang kokoh bagi identitas nasional. Sementara, penerimaan terhadap pengaruh budaya asing juga merupakan bagian dari dinamika kehidupan budaya modern,” tegasnya. 


Diskusi ini sebagai pemantik dalam bentuk tanggung jawab penelitian untuk mendorong kebijakan kebudayaan, serta sebagai representasi pembelaan keberadaannya dan memperjuangkan komunitas dengan saling memberi dan berkontribusi. 


“Riset ini sebagai hasil produksi ilmu pengetahuan dari penelitian terhadap komunitas adat dalam memandang realita sosial di Sulawesi Selatan,” tuturnya. (sur/ed:and, tnt)